Kata stunting mungkin bukan lagi kata yang asing saat ini. Sejak dicanangkannya Sustainable Development Goals (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan), sebagai negara yang berpartisipasi, Indonesia turut berupaya untuk memenuhi tujuan kedua dari SDGs yang berhubungan erat dengan permasalahan ini, yaitu menghilangkan kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan gizi yang baik, serta meningkatkan pertanian berkelanjutan.
Bagi yang mungkin masih asing dengan istilah stunting, berdasarkan penjelasan ilmiah, stunting dapat diartikan sebagai sebuah kondisi gagal tumbuh yang dialami oleh anak berusia di bawah lima tahun. Ini disebabkan karena kurangnya gizi yang mereka terima saat mereka masih bayi atau bahkan saat mereka masih di dalam kandungan. Stunting biasanya ditandai ketika anak memiliki tinggi badan yang lebih rendah dibandingkan dengan anak seusianya.
Berdasarkan data dari UNICEF, WHO, dan World Bank, pada tahun 1990, setidaknya sekitar empat puluh persen anak-anak di bawah lima tahun menderita stunting karena malnutrisi yang mereka alami. Hampir tiga puluh tahun berlalu, tapi saat ini setidaknya masih ada satu dari empat anak di dunia yang menderita stunting.
Ada berbagai faktor yang berkontribusi menyebabkan stunting pada anak-anak. Di antara faktor-faktor itu ialah buruknya nutrisi dan akses pada makanan layak, buruknya sanitasi dan tidak adanya akses terhadap air minum bersih, kurangnya akses pelayanan kesehatan bagi Ibu dan anak, dan kurangnya stimulasi psikososial dan kedekatan antara anak dan orang tua.
Baca juga: Alasan Mengapa Kamu Harus Peduli Dengan Stunting
Terlepas dari pengertian stunting secara ilmiah, persoalan stunting menandakan permasalahan lain yang lebih luas, dan tentu rumit. Sebab, faktor yang berkontribusi pada terjadinya stunting
tidak terjadi dalam ruang hampa. Faktor-faktor ini memiliki permasalahan preseden seperti kemiskinan, kesetaraan gender, konflik antar orangtua, ekonomi, hingga perubahan iklim yang memengaruhi ketersediaan pasokan pangan.