“Mereka rakyat +62 manja semua, dikasih lapangan kerja malah demo.”
Komentar macam ini lumrah kita temui di kolom komentar postingan yang membahas isu ekonomi, khususnya investasi asing, usang, aseng, seng,seng. Apakah komentar ini salah? Oh, ya jelas tidak, toh apa salahnya berkomentar? Lagipula kita kan konon hidup di alam demokrasi yang mempersilahkan semua orang untuk berpendapat dan berargumen.
Tapi kalau dipikir-pikir lagi, pendapat ini banyak benarnya lho, lihat saja bentuk-bentuk penolakkan masyarakat adat terhadap beberapa proyek pembangunan tambang, atau arus penolakkan besar-besaran terhadap wacana omnibus-law cipta kerja yang sebenarnya bermanfaat bagi iklim investasi. Semua penolakkan itu hanya berakibat pada mandeknya pembangunan dan terciptanya akselerasi ekonomi bangsa ini.
Padahal bila diperhatikan, kehidupan masyarakayt di tempat-tempat yang potensial untuk di kelola itu bisa dibilang biasa-biasa saja. Biasanya mata pencaharian yang diandalkan hanya sektor pertanian, infrastruktur yang tersedia juga cenderung ndeso dan tidak sesuai trend. Tidak ada mall, kafe, apalagi diskotik, bisa dibayangkan betapa membosankan hidup di tempat seperti itu.
Tapi apa boleh buat? Mereka itu kan kebanyakan orang desa yang mimpinya, ya boleh dibilang gitu-gitu saja. Mata pencaharian hanya diandalkan untuk memenuhi kebutuhan pokok saja, atau selebihnya untuk memnyekolahkan dan mengawinkan anak, sangat sederhana untuk zaman yang semakin canggih ini. Mereka ini jenis manusia yang terlalu mudah berpuas diri, sama sekali tak memilki kehendak untuk maju, dan menolak arus modernitas.