Menjaga Jarak Dari Rasa Takut Ketinggalan

0
846

“Apa yang sebenarnya membuat kita takut ketinggalan? Lalu apa pula yang sebenarnya meninggalkan kita?”

Apa yang benar-benar dipikirkan orang-orang ketika mereka hendak mengunggah konten di media sosial mereka, ya? Apapun alasannya pastilah beragam dan tidak semua perlu untuk diketahui. Namun yang pasti, berbagai kemudahan yang diberikan oleh media sosial telah membuat, mungkin, semua orang saling salah paham terhadap satu sama lain.

Media sosial setidaknya mengizinkan penggunanya untuk mengotak-atik representasi mereka, atau setidaknya bagaimana mereka ingin diakui oleh orang lain. Dengan fitur-fiturnya, media sosial memberikan kemudahan bagi kita tidak hanya untuk mengubah, namun juga membuat sebuah realita palsu yang sebenarnya tak pernah ada.

Mungkin secara mudah, media sosial bisa diartikan sebagai tempat paling tepat untuk saling salah paham.

Tidak hanya saling salah paham masalahnya, representasi yang tidak melulu benar (dan sering kali dilebih-lebihkan) membuat penggunanya, mungkin juga kamu (tapi sudah pasti saya) membandingkan kehidupan orang lain dengan kehidupan yang sedang kita jalani.

Ada perasaan aneh dan kompleks, kombinasi dari rasa iri, rasa hampa, tidak menjadi bagian, perasaan tidak cukup, hingga perasaan merasa dikucilkan. Penyebabnya biasanya karena, apa yang orang-orang tampilkan lewat media sosial mereka, terkesan jauh lebih menyenangkan dari apa yang sedang kita rasakan. Atau karena mereka melakukan kegiatan yang terlihat begitu mengasyikkan tanpa kehadiran kita.

Memaknai Kesederhanaan

Perasaan itu disebut dengan Fear of Missing Out (FOMO) atau sederhananya, takut ketinggalan. Seiring dengan meningkatnya fenomena ini, Fear of Missing Out bahkan masuk di Kamus Oxford. Menurut kamus, FOMO adalah perasaan cemas, penyesalan, dan takut karena ada sesuatu menyenangkan di luar sana yang mana kamu bukan bagian darinya.

Seseorang yang merasakan FOMO dapat mengiyakan semua ajakan acara sosial, bahkan melakukan sesuatu yang sebetulnya tidak begitu penting bagi mereka. Namun tetap mereka lakukan karena ada perasaan takut menyesal jika mereka tidak melakukan itu, meski tidak jarang hal itu sangat berisiko. Bahkan orang yang merasakan FOMO dapat mengunggah informasi yang tidak benar agar dapat dilihat aktual dan kekinian.

Lalu kenapa kita bisa merasakan FOMO?

Tentu, ini erat dengan bagaimana kita mempersepsikan apa yang kita lihat di media sosial. Namun dari perspektif psikologi, Volkan Dogan dalam “The Journal of Cross-Cultural Psychology” mengeksplorasi bagaimana persepsi diri memengaruhi bagaimana FOMO dapat dirasakan seseorang.

Menurut Dogan, apa yang mendasari seseorang merasakan FOMO, berhubungan dengan apa yang mereka rasakan saat mereka dikucilkan. Implikasinya adalah tekanan yang mendorong kita untuk terus terhubung, berada dalam jaringan, atau terpaksa mengikuti ekosistem internet yang serba cepat. Akhirnya hidup tanpa internet serta media sosial menjadi hal yang terasa begitu sulit. Rasanya kita dipaksa untuk terhubung tanpa menjalin sebuah hubungan intim.

Bagi saya sendiri, ada kalanya saya ingin mengikuti apa yang sedang ramai dibicarakan atau dilakukan, bukan semata-mata atas dasar penasaran. Namun lebih karena rasa takut tak punya bahan obrolan dengan teman, atau dianggap ketinggalan zaman. Ada kalanya pula saya melakukan atau mencoba sesuatu memang karena penasaran, namun bukan karena pengalaman yang diberikan tapi penasaran apakah hal itu benar-benar memberikan saya kesenangan sebagaimana hal itu nampak memberi kesenangan bagi teman-teman atau orang lain yang melakukannya.

Tapi, sering kali saya justru tertipu dengan ekspektasi saya, sering kali saya merasa tidak merasakan apa yang saya harap dapat rasakan. Tidak jarang saya menyesal karena melakukan sesuatu hanya karena ikut-ikutan. Melakukannya biasanya tidak membuat saya merasa senang, namun sebaliknya, saya semakin merasa hampa.

Mungkin saya dan mungkin kamu yang terkadang dirundung FOMO, disebabkan karena kita sedang mencari rasa senang, atau menghalau kesepian, atau ingin menjadi bagian dari kerumunan. Tentu, bagi saya, tidak ada yang salah dari itu. Namun, setidaknya buat saya, terus-menerus melihat apa yang nampak menyenangkan untuk dilakukan, tidak melulu mendatangkan kesenangan apabila dilakukan. Mempelajari tentang FOMO dan menuliskannya akhirnya membawa saya pada sebuah renungan untuk menjaga jarak.

Tentu saja menjaga jarak dari media sosial sudah menjadi hal yang selayaknya dicoba, namun ada perlunya juga untuk menjaga jarak dari definisi perasaan rasa senang atau rasa apapun itu yang ditunjukkan orang lain. Rasa hampa yang dirasakan karena melakukan sesuatu karena ikut-ikutan menunjukkan bahwa segala perasaan sifatnya subjektif. Sebuah perasaan tidak akan sekejap kita dapatkan hanya karena kita mencoba melakukan apa yang orang lain lakukan.

Mungkin, lagi-lagi, kita harus mencoba untuk berhenti melihat orang lain dan melihat lagi diri kita. Menempatkan fokus pada diri kita, jeli atas apa yang sedang kita lakukan, pikirkan, dan rasakan. Siapa tahu, kita sudah merasakan atau mendapatkan apa yang kita butuhkan tanpa harus melulu ikut-ikutan? (Ber)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here