Mengembalikan Harapan Bersama Sahabat Lingkungan

0
1997

“Melihat mereka, saya sepertinya harus sedikit mengurangi kadar pesimisme dalam diri ini. Rasanya seperti menyaksikan percik renjana yang meletup-letup ke permukaan, memantik kesadaran saya atas apa yang semestinya diupayakan.”

Malam itu rencananya saya dan Alfi hanya akan uji coba format penayangan wawancara bersama narasumber kami, seorang perwakilan dari Sahabat Lingkungan (Saling). Tepat setelah saya menyelesaikan beberapa pekerjaan, Alfi menghubungi saya dan mengabari bahwa sang narasumber sudah terhubung di kanal virtual yang telah disiapkan.

Pembicaraan pun dimulai, seperti perjumpaan kali pertama pada umumnya, kami memulai dengan perkenalan. “Saya Deruz kang” begitu sang narasumber memperkenalkan dirinya kepada kami, lengkap dengan logat khas tanah pasundan yang saya khatam betul dengan logat ini, sebab bahasa Sunda adalah ‘bahasa Ibu’ bagi saya sendiri.

Baca juga: Meninggalkan Jejak Kebermanfaatan

Obrolan berlanjut dengan bahasan yang cenderung formal khas diplomasi bilateral, ini berlangsung cukup lama dan saya mulai kehabisan stok pertanyaan template saya. Tapi dari sini justru obrolan semakin seru, saat pertanyaan yang saya lontarkan justru soal-soal yang lebih personal.

Kami mulai menyelipkan beberapa kata dan imbuhan Sunda, pertanda bahwa perbincangan sudah mendarat di meja-meja warung kopi atau pos ronda. Suasana ini juga bertambah hangat setelah mengetahui bahwa Saling berbasis di kota yang sama dengan saya, walau kalau bicara jarak memang tidak bisa dibilang dekat juga.

Saya mulai menanyakan soal permasalahan lingkungan di kota kami, mulai dari sampah hingga banjir bandang beberapa waktu lalu, yang beritanya lebih terasa bak infotainment yang mengandung asumsi-asumsi saja. Jujur saya mendapat banyak informasi yang tidak saya tahu sebelumnya, informasi soal betapa persoalan sampah tak kunjung berkesudahan, atau soal banjir bandang yang terjadi kemungkinan besar dampak dari ulah manusia juga, bukan semata-mata faktor alam.

Baca juga: Kerja dan Kebermaknaan

Di penghujung obrolan, Deruz menyampaikan “kami merasa bahwa persoalan lingkungan tak bisa dilepaskan begitu saja pada pemerintah, keterlibatan warga justru begitu penting dan selama ini warga pun tahu, tapi mereka bingung harus memulai dari mana. Di situ kami hadir, tidak sebagai pemimpin tapi sebagai teman yang bergerak bersama mereka, mendampingi bukan menggurui.”

Mendengar perkataan ini dari seorang pemuda, saya merasa seperti tertampar untuk kemudian tersenyum. Seperti pendaki yang disengat hipotermia, lalu mendapat tamparan kawannya sembari berkata “bangun woy! Itu lihat puncak sudah dekat!” Sebuah tamparan yang mengantarkan pada harapan-harapan atas kehidupan yang berkelanjutan. (Ignavus Canis)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here