“Mengapa ada perang ya?”
Iya, mengapa ya? Jujur saja, pertanyaan itu tidak pernah mampir dalam pikiran saya hingga akhir-akhir ini. Tentu pertanyaan itu bukanlah hal baru, banyak pemikir, sejarawan, dan ahli yang sudah membedah dan membahas mengapa perang terjadi dan masih senantiasa dilakukan manusia, meski dampak yang ditimbulkan jelas-jelas membuat semua orang merugi.
Yang sudah hampir jelas, perang bukanlah sebuah keputusan yang terjadi dalam satu malam. Melainkan timbul karena konflik multi dimensi yang rumit dan sudah berlansung secara berkepanjangan. Frances Stewart, seorang ekonom pembangunan menyebutkan jika akar utama penyebab perang itu beberapa hal, mencakup politik, ekonomi, kesenjangan sosial, kemiskinan ektrem, stagnasi ekonomi, buruknya layanan pemerintah, tingginya pengangguran, hingga rusaknya alam. Sering kali peperangan memiliki dimensi kultural yang berhubungan erat dengan etnis dan kepercayaan, namun biasanya disebabkan oleh permasalahan ekonomi.
Baca juga: Perang: Mengganjal dan Menjegal Keberlanjutan
Ya, tapi seberapa rumit permasalahan atau seberapa lama konflik telah terjadi, apakah perang lalu menjadi alternatif pilihan yang bijaksana? Apakah iya se-worth it itu?
Rizwan Asghar dalam tulisannya di The News International dengan judul “Why do wars happen?” menyebutkan bahwa ilmuwan politik dan sejarawan yang mempelajari asal mula perang mengelompokkan sebab terjadi perang menjadi tiga argumen besar.
Pertama, disebutkan jika sistem internasional itu tidak memiliki aturan pun hukum dan kekosongan kekuasaan yang terpusat ini mendorong negara-negara kuat dan besar untuk menggunakan kekuatan militer mereka kepada negara-negara yang lebih kecil dan lemah.
Argumen kedua menyebutkan jika manusia adalah makhluk yang irasional. Politisi, jenderal militer, atau siapapun yang memiliki wewenang untuk melakukan peperangan adalah, sebenarnya, mereka yang tidak perlu membayar penderitaan yang dilakukan oleh para prajurit yang harus berperang. Kita tidak bisa menutup mata pada banyak contoh konflik atau bahkan perang di mana banyak massa ikut andil, bukan karena mereka mengerti situasi dan substansi, namun karena loyalitas.
Ketiga, bahkan ketika sebuah negara dipimpin oleh pemimpin atau pengambil keputusan yang rasional, mereka masih melihat perang sebagai sebuah alternatif yang dapat memberikan keuntungan dan mungkin dilakukan.
Sebab itu, kaitannya dengan penjelasan ketiga, penjelasan kontemporer dan rasional mengenai sebab mengapa perang terjadi yang paling populer adalah karena kedua belah pihak memperkirakan keuntungan yang didapatkan dari perang lebih besar dibandingkan dengan harga yang harus dikeluarkan, terlepas siapa yang akan menjadi pemenangnya.
Sementara itu, dikutip dari, tulisan “Why do wars happen” oleh Pal Ahluwalia & Toby Miller, Hobbes kurang lebih mengatakan bahwa penyebab perang terjadi karena keinginan kita untuk memenuhi kebutuhan diri kita sendiri dan meinggalkan yang lain sejauh mungkin. Sementara keinginan untuk memenuhi kebutuhan satu sama lain sejatinya adalah penyebab tercapainya perdamaian.
Baca juga: Perang Itu Cuma Tawuran Berskala Besar, Tidak Ada Hebat-hebatnya
Kerakusan mungkin dalam hal ini menjadi penyebab mengapa manusia seakan sangat haus untuk menguasai yang lain, dan menjadi justifikasi mengapa ada perang saat ini. Sifat ini rasanya sudah erat melekat dalam diri manusia, bahkan untuk lepas dari jeratnya menjadi hal yang terkesan utopis.


Benarkah? Saya pribadi sangat percaya bahwa ada kebaikan dalam diri tiap manusia, ada rasa memiliki terhadap sesama yang mendorong manusia untuk melayani sesama bukan sebaliknya; menindas dan meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Singkatnya, saya percaya bahwa semua manusia itu, pada dasarnya, baik.
Pada akhirnya ini kembali pada persoalan prioritas. Kemanusiaan adalah apa yang harus menjadi prioritas utama nantinya. Gagasan ini mungkin terkesan semu, dan lagi-lagi utopis. Tapi bukan berarti tidak bisa diusahakan. Menjaga harapan itu adalah suatu yang perlu, dan sebagaimana Oscar Wilde tulis di “The Soul of Man under Socialism”, “Sebuah peta dunia yang tidak menyertakan utopia bahkan tidak layak untuk dilirik. Progres adalah realisasi dari utopia.” (Ber)