“Coba kalikan dengan jumlah anak di Indonesia. Ini baru satu jenis sampah yang dihasilkan satu orang bayi.”
Perihal isu lingkungan, pasti pernah membuat kita gerah barang sekali seumur hidup dan akhirnya mendorong untuk melakukan perubahan, walau masih dalam skala yang kecil. Mencoba menerapkan perubahan itu mungkin tak berat, tapi mempertahankannya bisa menjadi cerita yang berbeda. Apalagi jika keinginan kita tidak dibarengi dengan alasan yang kuat, atau bahkan sekadar ikut-ikutan. Atau karena kondisi di sekitar yang serba tidak mendukung. Sayangnya, pada akhirnya semua niat baik itu malah berjalan di tempat atau bahkan bubar jalan.
Berangkat dari masalah yang timbul dari upaya kita mengatasi masalah ini, ada banyak hal yang bisa dipelajari dan direnungi dari sosok Andhini Miranda. Andhini dan keluarganya telah berhasil menerapkan hidup minim sampah secara konsisten.
Semua bermula pada tahun 2012, ketika Andhini tengah hamil 7 bulan dan sedang melakukan riset untuk mempesiapkan perlengkapan bayi yang harus dibeli. Ia menemukan sebuah artikel soal popok sekali pakai (pospak). Pospak merupakan jenis popok yang tidak bisa terurai apalagi didaur ulang karena mempunyai lapisan plastik dan mengandung residu BAK dan BAB bayi.
Keresahan timbul ketika Andhini mecoba untuk menghitung jumlah pospak yang dihasilkan seorang bayi, jika dalam sehari ia menggunakan 4 buah pospak, maka dalam sebulan sudah ada 120 pospak, dan 1440 dalam satu tahun.
Baca juga: Melihat Kembali Hubungan Dengan Alam Melalui Karya Seni
“Coba kalikan dengan jumlah anak di Indonesia. Ini baru satu jenis sampah yang dihasilkan satu orang bayi,” jelas Andhini kepada Padana. Artikel itu kemudian membawa Andhini untuk mencari tahu persoalan sampah di Indonesia dan kemudian membuat Andhini memutuskan untuk mengurangi produksi sampah.
Menggunakan popok kain modern untuk anaknya yang baru lahir merupakan langkah awal Andhini dalam mengurangi sampah, khususnya sampah sekali pakai.
“Kami mulai dari hal kecil, sembari berusaha konsisten memakaikan popok kain modern pada anak kami. Lalu bertahap, satu per satu, hingga di tahun 2018 meniadakan tempat sampah di rumah, dan berhenti menyetor sampah ke TPA. Sampai sekarang pun masih terus belajar dan berproses,” jelas Andhini.
Meski demikian, meminimalisir produksi sampah bukanlah hal yang mudah apalagi mengingat hampir semua produk yang dijual di pasaran menggunakan kemasan sekali pakai, tak terkecuali bagi Andhini. Mengatasi tantangan itu, Andhini tetap giat mencari opsi produk yan lebih ramah lingkungan, meski membuat ia memilih kemungkinan yang tak populer sekalipun.
Akan tetapi, sekadar memulai mengurangi produksi sampah saja, ketika hampir semua kebutuhan menghasilkan sampah sungguh menjadi hal yang begitu memberatkan, terutama bagi pemula. Oleh sebab itu ada tiga hal yang Andhini tekankan bagi mereka yang ingin memulai mengurangi produksi sampah.


Pertama adalah mengetahui alasan mengapa kita harus dan perlu mengurangi sampah. Ini dapat dimulai dengan mencari tahu muara dari sampah yang kita hasilkan, dampak yang akan disebabkan, dan karena itu pentingnya mengurangi jumlahnya.
Kedua adalah mengaudit tempat sampah di rumah dan membuat daftar sampah yang kita hasilkan sehari-hari. Dari daftar tersebut, kita bisa memilih jenis produk apa yang bisa mulai dikurangi bahkan dihindari. Pilih yang paling gampang dilakukan, sembari belajar konsisten.
Di samping itu, Andhini menekankan pada pentingnya literasi soal isu sampah di Indonesia, untuk menguatkan alasan dan memotivasi diri dalam upaya mengurangi produksi sampah.
“Dengan mencari tau informasi sebanyak-banyaknya tentang kondisi aktual kerusakan lingkungan dan mengetahui dampaknya kepada kita, kita akan menemukan alasan kuat untuk terus mengurangi produksi sampah,” jelas Andhini.
Hidup minim sampah telah mengajarkan banyak hal untuk Andhini dan keluarganya. Mereka jadi belajar membuat cairan pembersih tubuh dan rumah yang tidak hanya aman bagi tubuh namun juga bumi.
Baca juga: Agar Berkelanjutan Tak Jadi Setengah-Setengah
Mereka belajar untuk berhenti mengonsumsi daging merah karena isu deforestasi dan untuk mengurangi jejak karbon. Andhini dan keluarga juga belajar berkebun untuk menghasilkan sayuran organik sendiri.
Hidup minim sampah juga telah mengajarkan Andhini untuk lebih bersyukur, menghargai hal kecil, belajar merasa cukup, dan belajar menyederhanakan nikmat.
Dengan hidup minim sampah, Andhini berharap dapat memberikan kontribusi dalam mewujudkan lingkungan yang sehat sehingga anaknya dapat tumbuh dengan sehat, aman, dan nyaman. (Ber)