Politisasi Pandemi

0
1166

Bagi mereka yang hanya berkiblat pada kekuasaan, politisasi selalu jadi hal yang seksi. Rasanya sih hampir tidak ada ya? Apalagi kalau ada kekacauan, sudah hampir pasti mereka berlomba-lomba menjadikan itu sebagai panggung untuk membangun persepsi yang menguntungkan mereka. Meminjam istilah Littlefinger dari Game of Thrones, bagi mereka mungkin, “Chaos is a ladder,” atau kekacuan adalah tangga.

Bahkan jika kekacauan itu adalah pandemi yang mengancam nyawa kita semua.

Sudah lebih dari setengah tahun kita hidup bersama pandemi dan sayangnya pandemi COVID-19 tidak luput dari politisasi. Penelitian Ali Haif Habbas dengan judul “Politicizing the Pandemic: A Schemata Analysis of COVID-19 News in Two Selected Newspapers” menyimpulkan jika pemberitaan seputar COVID-19 telah dipolitisasi untuk kepentingan persebaran dan pengukuhan ideologi.

Akan tetapi, politisasi pandemi bukanlah hal yang baru, meski seharusnya itu sudah dihentikan sejak dulu. Tapi sejarah berkata sebaliknya, politisasi pandemi telah dilakukan sejak pandemi flu tahun 1918, H1N1, AIDS, hingga Ebola.

Seakan masih gagal memetik pembelajaran, kini manusia melakukan hal yang sama dengan pandemi Covid-19.

Alih-alih bekerja sama, banyak pihak atau justru mereka yang punya kuasa malah terlihat sibuk saling lontar tuduhan.

Misalnya saja Juru Bicara dari Kementerian Luar Negeri Cina, Zhao Lijian yang menuduh bahwa Amerika Serikat yang menyebarkan virus dan menyebabkan pandemi di Wuhan. Masih ingat Wuhan, kan?

Seakan tak mau kalah, tuduhan ini pun dibalas oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump yang menyebut virus corona sebagai “virus Cina”.

Saya yakin Zhao Lijian dan Donald Trump bukanlah satu-satunya.

Padahal, menurut Abbas di penelitian yang sama, politisasi pandemi justru berisiko memperburuk kondisi dan kesehatan sebuah negara. Ia menekankan jika rasisme, stereotipe, ujaran kebencian, propaganda, yang dikombinasikan dengan rasa takut dan kita terhadap wabah itu sendiri hanya akan memunculkan permasalahan-permasalahan baru lainnya.

Dalam situasi seperti ini, media dan proses penyebaran informasi, sedihnya, tidak membuat keadaan lebih baik. Bukannya bertindak sebagai informasi yang mencerahkan, media justru memperkeruh keadaan, membuat perang melawan pandemi semakin jauh dari kata mudah.

Baca juga: Kita Yang Takut Bayangan Sendiri

Ada informasi yang salah dan menyimpang, manipulasi data, teori konspirasi, hingga pengambilan kesimpulan yang ngawur. Mereka semua menyebar di tengah-tengah kita, bahkan lebih cepat dibandingkan dengan virus itu sendiri.

Tidak jarang saya harus merelakan rasa pengetahuan saya soal perkembangan virus corona sebab saya bosan dengan pemberitaan virus corona yang sudah jenuh dengan politik.

Dalam penelitiannya, Abbas menunjukkan dua contoh pemberitaan dari dua media di Amerika Serikat, New York Times dengan judul “China Clamps Down on Coronavirus Coverage as Cases Surge”, dan media di Cina, Global Times dengan judul “US COVID-19 Numbers ‘Tip of Iceberg”, yang menunjukkan bagaimana media justru dijadikan sarana untuk membangun sebuah wacana sarat akan propaganda dan kepentingan politik.

Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Abbas, kedua berita itu lebih menekankan pada berita negatif soal Covid-19 di Amerika Serikat dan Cina. New York Times menekankan pada propaganda partai komunis di Cina dan ketidakmampuannya mengendalikan virus, kurangnya suplai medis, dan perlakuan totaliter kepada pekerja medis.

Sama halnya dengan New York Times, Global Times juga membangun narasi negatif soal Covid-19 dan Amerika Serikat. Global Times menekankan pada lambatnya dan tidak profesionalnya penanganan Covid-19 di bawah komando Donald Trump serta kurangnya suplai medis dan minimnya alat pengetesan.

Dibelenggu Persepsi

Politik memang dapat membawa perubahan besar, namun politik yang hanya mementingkan pemenuhan nafsu akan kuasa tidak akan membuat langkah kita dalam memerangi pandemi beranjak dan berprogres.

Semoga kita lekas sadar dan mengoreksi kembali prioritas kita karena pandemi tidak mengenal negara, ideologi, atau kepentingan politik. Pandemi tidak mendiskrimanasi ras dan agama, sebab itu pandemi harus dituntaskan bersama-sana.

Dan jika ada yang bisa dilakukan oleh media saat ini adalah pembangunan narasi tentang bagaimana seharusnya semua orang di bumi bergotong royong untuk mewujudkan perdamaian, keamanan, dan perlindungan.

Baca juga: Apa Kabar Produktivitas Penelitian Indonesia?

Kekacauan memang dapat menjadi sebuah tangga, tapi semoga kita semua masih punya nurani untuk menjadikan kekacauan sebagai cambuk agar segera kita bekerja sama untuk tujuan yang sama, bukan menjadikan mereka yang pergi atau ditinggal pergi karena pandemi sebagai tangga untuk meraih kekuasaan. (Ber)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here