Kita semua sering kali lupa, lupa atas banyak hal, lupa membawa dompet, handphone, atau berkas pekerjaan untuk dipresentasikan di kantor nanti. Tapi satu hal yang tidak akan pernah bisa kita lupakan, hal itu adalah kehidupan yang kita upayakan dari hari ke hari, yang kita jaga walau sampai setengah mati kadang-kadang.
Gelombang pandemi sampai September yang tinggal ekornya ini, ternyata masih terus meninggi bagai muson yang mendorong ombak menjadi lebih ganas dari biasanya. Dunia masih kebingungan dengan nasib penghuninnya, atau takdir macam apa yang akan menjemput besok atau lusa, mungkin jasa peramal sudah mulai sepi di situasi serba tak pasti ini.
Baca juga: 6 Perusahaan Besar Yang Lahir Saat Resesi
Tapi di tengah gelombang ketidakpastian yang muskil, sepertinya pihak pemangku kuasa negeri ini sudah punya kepastian yang tak mungkin bisa ditawar oleh apapun. Kepastian itu adalah penyelenggaraan “pesta demokrasi” bertajuk Pilkada Serentak yang akan berlangsung Desember nanti.
Banyak pihak yang mulai mengeluhkan pengambilan sikap tersebut, banyak dari mereka khawatir dengan situasi pandemi yang dianggap masih mengancam keselamatan warga. Tapi bagai nasi yang kepalang gosong untuk sekedar jadi bubur, pemerintah tampak sudah ajek dan bergeming dengan segala keputusannya.


Keputusan tersebut memang sangat rancu, sebab apabila mengacu pada konteksnya, Pilkada merupakan upaya menciptakan kemaslahatan lewat proses yang sangat demokratis, dengan membuka seluas-luasnya kesempatan dan pendapat dari seluruh pihak. Dari situ saja kita sudah dapat menemukan kerancuan yang sangat jelas, pihak penyelenggara seakan menutup telinga rapat-rapat terhadap semua suara dan pendapat yang muncul terkait penyelenggaraan Pilkada di tengah pandemi.
Pemerintah seolah-olah menjadi sekelompok orang yang lupa cara bertanya pada rakyatnya dan memilih jalan yang kolot dengan keputusan sepihaknya.
Baca juga: Politisasi Pandemi
Jadi apabila Pilkada kali ini dikatakan sebagai sebuah upaya demokratis bagi kemaslahatan bersama, makan argumen itu sudah batal dengan sendirinya oleh keputusan yang diambil. Keputusannya sama sekali tidak demokratis, membahayakan, dan sepihak.
Para pemangku kuasa bukan hanya lupa untuk bertanya pada rakyatnya, tapi juga lupa bahwa syarat melahirkan pemimpin yang utama adalah kesediaan mereka yang akan atau meminta untuk dipimpin. (Ignavus Canis)