Melihat Kembali Hubungan Dengan Alam Melalui Karya Seni

0
9255

Sejak zaman Paleolitik, nenek moyang kita sudah gemar corat-coret di dinding, bukan rumah tapi gua (hehe). Kalau diperhatikan, hasil corat-coret yang mereka buat tidak jauh dari alam, mulai dari hewan, buruan favorit mereka, sampai-sampai kondisi lingkungan seperti kilat, hujan, hingga kehidupan sosial mereka.

Tidak cuma manusia purba, kamu mungkin juga menjadikan alam atau pemandangan sebagai inspirasimu ketika kamu diminta untuk menggambar pertama kali waktu di sekolah dasar. Dua gunung, matahari di tengahnya, jalan berliku, dan pematang sawah yang terhampar, lengkap dengan gerombolan burung camar yang sedang melayang di langitnya.

Selama ratusan tahun, bentang alam, oleh para seniman diabadikan di dalam karya mereka, ditujukan untuk memperlihatkan keindahan alam itu sendiri dan membuat penikmatnya takjub karenanya. Jika tidak, alam dijadikan latar sebuah peristiwa dari aktivitas manusia yang ditangkap ke dalam sebuah seni.

Memasuki abad ke-20, di samping dengan meningkatnya perhatian kita terhadap isu kesehatan lingkungan dan krisis iklim, banyak seniman yang mulai berkolaborasi dan membuat karya seni yang bertujuan untuk menggalang perhatian terhadap isu-isu lingkungan termasuk kontribusi yang dapat manusia lakukan terhadapnya, atau dikenal dengan istilah “seni lingkungan” (environmental art).

Baca juga: Agar Berkelanjutan Tak Jadi Setengah-setengah

Seni lingkungan mendapat perhatian lebih banyak pada tahun 1990-an ketika seniman mulai melihat lingkungan sekitar bukan hanya dalam konsep bangunan atau benda hidup yang terpisah, melainkan sebuah ekosistem yang berhubungan di mana manusia memiliki peran yang besar.  Seni lingkungan pada dasarnya adalah istilah yang memiliki arti luas, karena ia mencakup banyak aktivitas dan pergerakan. Sebab itu, banyak seniman lingkungan menggunakan berbagai macam media, teknik, bahkan gaya.

Bentuk seni ini, salah satunya dapat kita lihat melalui Plasticology, sebuah ekshibisi yang merupakan respon kreatif terhadap isu plastik dan polusi yang digagas oleh FORM, sebuah lembaga kreatif di Australia. Ekshibisi ini berangkat dari keresahan akan meroketnya jumlah sampah plastik yang masuk ke laut tiap tahunnya yang dapat mencapai 8 juta ton. Sayangnya, hanya delapan persen yang dapat didaur ulang. Melalui eksihibisi ini, para seniman berusaha untuk membuat cara baru untuk memikirkan kembali permasalahan plastik yang sedang kita hadapi.

Plasticology ini menampilkan beberapa seniman mancanegara, salah satunya adalah Eko Nugroho, seorang seniman kontemporer kenamaan asal Indonesia. Sayangnya eksihibisi ini harus ditutup lantaran wabah Covid-19. Oleh karena itu, Eko berinisiatif untuk mengunggah karya-karyanya melalui akun media sosialnya di instagram.

Terdapat enam karya yang dipamerkan dalam Plasticology yang terdiri dari mural, lukisan, dan patung. Bahan dasar untuk membuat karya ini Eko dapatkan melalui pengepul sampah plastik yang ada di sekitar studionya di Yogyakarta. Puuhan kilogram sampah plastik ini ia cuci, keringkan, dan semprot dengan disinfektan sebelum ia konstruksi menjadi sebuah bentuk karya seni baru. Dengan kemampuannya, karya-karya Eko sama sekali tidak terlihat seperti dibuat dari limbah plastik.

Baca juga: Lekas Sembuh, Bumi (Atau Kita)

Karya-karya Eko di Plasticology berusaha menarasikan keresahannya terhadap kerusakan lingkungan serta krisis geopolitik yang semakin meminggirkan yang telah terpinggir. Eko memang dikenal sebagai seorang seniman yang karyanya dibuat dan terinspirasi oleh orang-orang di sekitarnya, dan pengalaman pribadinya. Humor dan ironi menjadi gaya khas Eko untuk menyampaikan responnya terhadap permasalahan sosial sekaligus lingkungan.

Eksistensi seni erat kaitannya dengan pergerakan, melalui seni yang berfokus pada isu lingkungan, banyak seniman yang membantu kita memahami alam. Mereka membantu kita untuk kembali membayangkan dan memaknai hubungan manusia dengan alam, dan bagaimana kita harus memulihkannya kembali.

Seperti kata Andy Goldsworthy, “Kita sering kali lupa jika kita adalah alam. Alam bukanlah sesuatu yang terpisahkan dari kita. Jadi, ketika kita mengatakan kita telah kehilangan hubungan dengan alam, maka kita telah kehilangan hubungan dengan diri kita.” (Ber)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here