Mager Dosa Besar?

0
2719

Seperti banyak orang bilang, kalau ada lomba lari, maka lomba lari paling mudah untuk dimenangkan adalah lari dari tanggung jawab — yang pada akhirnya membuat kita lari dari kenyataan — untuk mengerjakan tanggung jawab-tanggung jawab yang kita punya.

Terkadang enak sekali dan entah kenapa mudah rasanya untuk menunda pekerjaan dan bermalas-malasan seharian, meski pekerjaan yang harus dilakukan kian menggunung. Sebaliknya, entah kenapa sulit sekali untuk jadi rajin dan cekatan. Bisa sih.. Tapi rasanya itu bukan default saya, karena jarang sekali saya bisa merasakan itu.

Setiap orang memang membutuhkan waktu, dan hanya mereka yang tahu berapa lama waktu yang mereka butuhkan. Bagi saya, tidak jarang saya merasa bahwa waktu saya untuk bermalas-malasan sudah lebih dari cukup. Tapi, tetap saja.

Mengapa sangat sulit rasanya bagi saya untuk beranjak dari kemalasan? Saya harap ini tidak hanya terjadi pada saya. Padahal saya juga tidak terlalu menikmati waktu malas-malasan saya, karena terpikirkan banyak pekerjaan yang seharusnya bisa saya selesaikan saat saya bermalas-malasan, seperti menggosok gigi, cuci muka, mandi, makan tepat pada waktunya, mencicil pekerjaan, membaca buku, bahkan sampai pakai skincare. Sepele sebenarnya kalau dibaca, tapi jadi cerita beda kalau dilakukan, bisa jadi tantangan luar biasa Mbak, Mas!

Tak terpikirkan oleh saya, malas-malasan (atau singkatnya kita sebut saja mager) telah membawa lebih banyak hal buruk ketimbang hal baik (setidaknya bagi saya). Mager membuat saya justru menjadi orang yang seperti diburu-buru, dihantui deadline yang pada akhirnya membuat saya bergadang, membuat saya melewati kesempatan-kesempatan berharga seperti checkout promo di olshop (hehehe), atau paling buruk membuat saya sakit karena metabolisme terganggu akibat pola hidup yang serampangan.

Beberapa keputusan-keputusan yang saya sebut di atas itu setidaknya hanya berpengaruh pada saya (setidaknya yang paling banyak terpengaruh). Tapi coba bayangkan kalau rasa mager itu dimiliki oleh mereka yang punya kuasa untuk membuat perubahan dengan keputusan-keputusan atau upaya secuil mereka? Bagaimana kalau orang yang sebenarnya bisa membuat keadaan lebih baik, justru mager untuk melakukan itu hanya karena hal tersebut bukanlah hal yang harus mereka pedulikan?

Pernah kamu dengar pepatah yang mengatakan, “kejahataan ada karena orang “baik” tidak bertindak”?

Bisa jadi, jangan-jangan kekacauan yang kita alami saat ini disebabkan karena sebagian besar orang di dunia ini sedang mager untuk melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan sebagai manusia. Maksud saya, toh menjadi manusia adalah berkontribusi untuk segala aspek yang dapat mendukung keberlanjutan eksistensi manusia itu sendiri bukan? Dalam hal ini lalu usaha untuk menjaga eksistensi hewan, lingkungan, dan segala hal yang menempati sudut paling kecil dari bumi juga termasuk.

Tetapi menjadi bahan renungan mendadak bagi saya yang seolah-olah memisahkan diri dari kata “sebagian besar orang di dunia” padahal saya juga termasuk bagian besar itu sendiri. Jangan-jangan saya menjadikan pikiran saya di atas untuk menjustifikasi mengapa saya tidak mencoba berupaya karena tahu banyak orang di dunia juga melakukan hal serupa. Padahal mungkin saja, dengan tidak mager, namun mencoba untuk mengupayakan tindakan, saya bisa membawa sedikit perubahan.

Malas Gerak

Seperti sesederhana; bisa jadi jika saya tidak mager untuk berpikir kembali, bahwa banyak makanan yang tak perlu saya sisakan, saya bisa mengurangi jumlah sampah makanan, dengan demikian makanan dapat didistribusikan kepada mereka yang lebih membutuhkan.

Bisa jadi jika saya tidak mager untuk membuang sampah di tempatnya, saya bisa membantu pendaur ulang untuk mengelola sampah dan menjadikannya barang yang lebih berharga.

Bisa jadi jika saya tidak mager untuk membawa kantong belanja saat berbelanja saya bisa mengurangi konsumsi plastik saya.

Bisa jadi jika saya tidak mager untuk lebih banyak makan sayur dan mengurangi konsumsi daging, saya bisa sedikit mengurangi jejak karbon saya.

Bisa jadi jika saya tidak mager untuk berjalan kaki ketimbang menggunakan kendaraan bermotor, kualitas udara di sekitar saya akan lebih baik.

Bisa jadi jika saya tidak mager dan bosan untuk mengingatkan, akan banyak orang yang semakin tidak mager untuk melakukan perubahan kecil.

Mungkin itu mengapa alasannya kemalasan adalah salah satu tujuh dosa pokok, karena kalau kita terus menerus bermalas-malasan, banyak hal baik bisa tertunda, tapi bisa saja karena kita malas, kita akan terlambat, dan hal baik sampai akhir tak akan pernah kita jumpai.

Jangan banyak-banyak mager lagi, ya. Setidaknya porsi magernya dikurangi sedikit demi sedikit. (Ber)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here