Saya teringat perbincangan saya dengan seorang pengemudi ojol yang mengantarkan saya ke kantor. Belum juga kaki kanan saya dengan sempurna hinggap ke pijakan kaki motor, abang pengemudi sudah memulai curhatannya kepada saya. Sembari menanyakan alamat kantor saya, dia menggerutu lantaran saya adalah penumpang pertamanya, meski waktu sudah tak lagi pagi. Dia bilang, telepon pintarnya harus digunakan oleh anaknya yang harus belajar di rumah karena pandemi. Tak sampai di situ, abang ini juga sempat mengeluhkan peningkatan pengeluaran karena ia harus membeli paket internet ekstra untuk proses pembelajaran daring anaknya.
Ada banyak orang yang mengalami permasalahan serupa dengan abang ini, berkurangnya omzet yang dibarengi dengan meningkatnya pengeluaran. Ironisnya itu disebabkan karena biaya pendidikan.
Hmmm.. permasalahan pendidikan — seperti yang kita ketahui — sebetulnya bukanlah permasalahan yang asing. Ia sudah ada bahkan sejak lama sebelum pandemi Covid-19 datang dan membawa kita pada kerisauan dan keriuhan.
Baca juga: 10 Alasan Mengapa Banyak Yang Belum Bisa Bersekolah
Agaknya pandemi ini membuat kita sadar kalau upaya pemerataan akses terhadap pendidikan yang berkualitas jauh dari kata mendekati tercapai. Ada 250 juta anak-anak yang tidak dapat merasakan asupan pendidikan. Sementara itu hanya seperempat dari siswa sekolah menengah yang keluar dari sekolah dengan memiliki kemampuan dasar.
Sedihnya, pandemi malah menjadi satu tembok besar penghalang baru bagi terciptanya pemerataan akses pendidikan. Untuk menekan penyebaran virus corona, hampir seluruh sekolah diliburkan. Kegiatan belajar mengajar menjadi kurang efektif bahkan menjadi tiada setidaknya hingga mitigasinya lebih jelas.
Ada satu miliar murid yang terkena imbas karena 160 negara memutuskan untuk menutup sekolah, dan menempatkan siswa dari keluarga miskin sebagai kelompok terdampak paling rentan.
Sama halnya dengan penanganan pandemi yang rumit, permasalahan pendidikan adalah permasalahan yang begitu kompleks yang beririsan dengan banyak permasalahan lain, terutama persoalan ekonomi. Setidaknya ada 24 juta siswa yang diperkirakan oleh PBB berpotensi besar putus sekolah karena kondisi ekonomi yang semakin sulit.
Wajah pendidikan yang belum begitu cerah harus semakin meredup kala pandemi Covid-19 datang. Semakin sulitnya atau bahkan hilangnya akses terhadap pendidikan berkualitas dapat menyia-nyiakan potensi yang dimiliki jutaan anak yang saat ini sedang di masa penting, dan karenanya membutuhkan pendidikan.
Seperti tak punya pilihan lain, seluruh kalangan dipaksa beradaptasi dan mau tidak mau memikirkan bagaimana arah kebijakan pendidikan saat pandemi, dan yang terpenting setelah pandemi ini usai (semoga dapat diartikan secepatnya).
Kita dipaksa untuk membayangkan bagaimana wajah pendidikan yang baru, lalu pembelajaran jarak jauh sempat menjadi rupa baru dari pendidikan di banyak daerah lintas tingkat pendidikan. Langkah ini tentu memberikan dampak yang rupa-rupa warnanya. Bagi mereka yang memiliki akses, pembelajaran jarak jauh adalah hal yang mudah, mungkin lebih praktis karena tak perlu bergerak banyak, dan tentu dirasa lebih aman di masa pandemi karena menurunkan potensi bertemu dengan banyak orang.
Pembelajaran jarak jauh dapat menjadi realita sebaliknya bagi keluarga prasejahtera, terutama mereka yang tinggal di daerah 3T (tertinggal, terluar, dan terbelakang). Tidak sedikit dari mereka yang kehilangan kesempatan untuk belajar di masa pandemi karena kendala akses. Dibutuhkan setidaknya telepon pintar dan internet untuk dapat mengikuti proses pembelajaran daring yang mungkin masih merupakan barang mewah bagi masyarakat prasejahtera.
Baca juga: Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dan Pendidikan Di Masa Sulit
Proses penyampaian materi pembelajaran memang tidak hanya sebatas melalui internet, namun juga dilakukan melalui televisi, radio, bahkan ada beberapa guru yang mendatangi rumah siswa didiknya karena rasa peduli mereka. Kendati demikian, masih banyak siswa didik yang tidak terjangkau.
Tentu ada banyak pertimbangan yang harus dipikirkan dalam menentukan arah langkah pendidikan masa depan. Meski ada banyak, bagi saya yang paling penting adalah pertama, keberpihakan. Arah kebijakan haruslah berpihak pada mereka yang paling rentan, mereka yang paling membutuhkan, sehingga langkah yang diambil benar-benar dapat menjadi sebuah bantuan. Dalam hal ini, kebijakan pendidikan harus menempatkan kelompok prasejahtera sebagai subjek paling utama, sehingga pendidikan dapat benar-benar difungsikan sebagai jembatan pemberantas kemiskinan.
Kedua adalah kesempatan, setiap orang berhak mendampatkan kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan. Hal ini akan tercapai jika pendanaan pendidikan cukup untuk memberikan kesempatan yang lebih luas bagi anak-anak untuk belajar. Ketiga adalah pemerataan, bagi saya teknologi hanyalah sarana proses pembelajaran. Bagi saya teknologi tidak bisa ditempatkan sebagai tujuan, pun migrasi proses pembelajaran yang semula tatap muka yang kini termediasi oleh gawai. Sarana tak akan membebaskan jika akses dan fungsinya tidak diratakan. (Ber)