Bagaimana Jadinya Hidup Tanpa Ilmu

0
4361

Saya pernah tiba di sebuah titik di mana saya mempertanyakan, apa fungsi riil dari sekolah atau bahkan kuliah jika kita tidak tahu bagaimana cara mengaplikasikan pengetahuan yang kita terima? Apakah masih perlu belajar di sebuah institusi pendidikan formal jika sebenarnya pengetahuan bisa didapat dari mana saja?

Tapi rasanya saya harus mengubah cara pikir saya, sebab pada kenyataannya, kita (khususnya saya) tidak bisa mengelakkan sumbangsih institusi pendidikan, khususnya pendidikan formal. Tanpanya, kelahiran para akademisi, pakar lintas ilmu, hingga tradisi berpikir logis yang tidak hanya bergantung pada asumsi namun juga data belum tentu dapat lahir dan lestari. Bisa jadi, saya atau kamu, tanpa kontribusi mereka, keberadaannya mungkin sangat bisa jauh dari pasti.

Mereka tidak hanya berkontribusi pada khazanah pendidikan, namun juga berbagai penemuan penting yang menyelamatkan manusia bahkan mengubah sejarah. Salah satunya adalah penemuan vaksin. Berkat vaksin, kemunculan wabah yang sudah berkali-kali datang-pergi selama kurun waktu ratusan bahkan ribuan tahun dapat teratasi.

Baca juga: Vaksin Jadi Obrolan Seksi Selama Pandemi

Jika sebelumnya saya pernah membahas beberapa vaksin yang menyelamatkan peradaban, berikut adalah beberapa cerita bagaimana para ilmuwan bekerja keras untuk mendapatkan obat teraman bagi manusia, dengan metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan, dan data empiris tentunya. Namun, usaha mereka tidak hanya sebatas menciptakan, namun juga meyakinkan orang-orang, sebab menerima kebenaran ilmu pengetahuan bukan hal mudah.

  1. Edward Jenner

Penemuan vaksin cacar air tidak bisa dilepaskan dari eksperimen Edward Jenner yang mengoleskan materi luka cacar pada sapi (cowpox) ke dalam tubuh James Phipps, seorang anak tukang kebun yang berusia delapan tahun. Setelah dioleskan materi ini, Phipps memang terkena cowpox, namun ia lekas sembuh. Setelahnya, Jenner mengoleskan materi luka cacar yang disebabkan virus variolla yang pada waktu itu merupakan wabah mematikan. Alhasil, Phipps tidak terkena smallpox. Percobaan ini Jenner lakukan sebanyak 23 kali. Penemuan ini yang kemudian dikenal sebagai vaksinasi.

Sayangnya, banyak pihak yang menolak penemuan Jenner karena dianggap tidak lazim dan tidak sesuai dengan kaidah ilmiah pada waktu itu. Bahkan majalah The Royal Society menolak untuk mempublikasikan artikel ilmiah Jenner yang berisi hasil studi terhadap 23 eksperimennya. Tidak hanya menolak, Jenner juga mendapatkan cemooh terkait penemuannya. Terdapat perundingan dan perdebatan panjang sebelum pada akhirnya dunia medis pada waktu itu menerima penemuan Jenner.

2. Louis Pasteur

Louis kini banyak dikenal sebagai penemu vaksin untuk rabies setelah ia memberikan vaksin rabies kepada seorang anak laki-laki berusia 9 tahun, Joseph Meister, yang baru diserang oleh anjing gila. Setelah keberhasilan ini, semakin banyak orang yang datang ke Louis untuk mendapatkan penanganan. Pada tahun 1886, Pasteur menangani 350 orang dan hanya satu yang terinfeksi rabies. Pencapaian ini telah membukakan jalan bagi penemuan vaksin lainnya. Dengan pencapaian ini pula, Institut Pasteur pertama pun dibangun. Louis Pasteur merupakan salah satu ilmuwan yang pemberani, terlebih lagi untuk keperluan penelitiannya. Ia bahkan tidak takut untuk mengambil air liur seekor anjing gila langsung dari rahang si anjing.

Tidak hanya itu, berkat studi yang dilakukan Pasteur tentang kuman, telah melahirkan inovasi di dunia kedokteran, yang saat ini sering kita lihat saat para dokter mensanitasi tangan dan peralatan mereka sebelum operasi, lho!

Baca juga: Vaksin Dan Industri Farmasi

3. Jonas Salk

Pada tahun 1952, Amerika Serikat mengalami sebuah epidemi bernama polio yang menyebabkan 3,145 orang meninggal, dan 21,269 lainnya lumpuh. Polio pada waktu itu merupakan sebuah momok bagi Amerika Serikat, bahkan menurut PBS Documentary tahun 2009, dikatakan selain bom atom, ketakutan terbesar orang Amerika adalah polio. Walau demikian, penemuan vaksin polio tidak didapatkan dalam waktu sebentar. Butuh waktu hingga 7 tahun penelitian bagi Jonas Salk sehingga vaksin polio yang paling aman dapat ditemukan.

Ketakutan yang besar terhadap polio mampu mengumpulkan dana penelitian sebesar 67 juta dollar pada tahun 1955, tetapi penelitian hanya menghasilkan vaksin yang membahayakan. Salk akhirnya memutuskan untuk membuat vaksin yang berasal dari virus yang telah mati, bukan dari virus yang telah dilemahkan.

Setelah keberhasilan uji coba kepada hewan, pada tahun 1952 Salk menyuntikkan vaksin polio ke 43 anak-anak lumpuh, hingga pada tahun 1954 Salk telah mengujicobakan vaksinnya ke hampir 1 juta anak. Pada 12 April 1955, vaksin milik Salk dinyatakan aman.

Projek penelitian Salk menjadi sangat besar. Menurut O’Neill, projek ini merupakan program paling besar sepanjang sejarah, karena mengikutsertakan 20,000 dokter dan tenaga kesehatan, 64,000 tenaga sekolah, 220,000 relawan, serta 1.8 juta anak-anak. Hingga saat ini, tercatat di WHO bahwa vaksin polio merupakan salah satu obat teraman dan paling efektif yang dibutuhkan dalam sistem kesehatan.

Apabila kita mengaku menghormati dan menjunjung tinggi rasionalitas, maka sudah sepatutnya kita hanya percaya pada keabsahan data, hasil penelitian yang didasarkan pada metode ilmiah. Terlebih pula di kala pandemi saat ini, mempercayai apa kata ilmuwan adalah langkah yang paling logis untuk dilakukan. (Ber)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here