Sebelumnya, sulit bagi saya untuk membayangkan sebuah perusahaan atau setidaknya model bisnis yang dapat menghasilkan keuntungan besar dan mampu menarik banyak investor yang tidak dibarengi dengan aktivitas perusakan lingkungan.
Saya dulu punya anggapan bahwa aktivitas pengumpulan keuntungan dapat langsung diartikan sebagai sebuah aktivitas yang sedikit banyak merugikan karena sifat eksploitatifnya. Lingkungan yang rusak adalah contoh mudah yang menunjukkan keserakahan manusia dalam memaksimalkan keuntungan yang berujung bencana.
Sebab itu, jika keuntungan menjadi satu-satunya fokus utama, apakah bisa sebuah perusahaan atau bisnis model, selain dapat menjadi kendaraan menuju keuntungan, juga dapat menjadi sarana untuk kebermanfaatan?
Namun, gejala-gejala akibat perusakan yang kita sendiri lakukan agaknya tak bisa membuat kita terus menerus menutup mata, terlebih lagi bagi pelaku bisnis juga investor tentunya!
Lha, gimana lagi? Seperti apapun mereka mengutak-atik model bisnis mereka, model tersebut tidak akan berhasil dan berkelanjutan apabila hanya akan dijalankan di atas planet yang semakin rusak.
Baca juga: Merintis Kemandirian demi Masyarakat Berdaya
Walau tetap saja (lha wong namanya juga bisnis, hehe) tujuan mereka adalah keuntungan, setidaknya para investor kini mulai melirik perusahaan yang memerhatikan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola (environmental, social, and governance yang lalu disingkat menjadi ESG). George Serafeim melalui artikel di HBR, mengatakan hingga pertengahan tahun 2010-an investor sangat memerhatikan aspek ESG itu. Mereka bahkan mulai peduli dengan data-data terkait jejak karbon yang dihasilkan oleh perusahaan, hingga kebijakan buruh yang diberlakukan.
Bahkan ada investor yang menjadikan buruknya ESG sebagai acuan yang berhubungan dengan buruknya hasil pendapatan. Dalam artikel yang berjudul “Social-Impact Efforts That Create Real Value” Serafeim juga mengatakan bahwa kebutuhan bagi sebuah perusahaan untuk memperhatikan aspek sosial, serta respon yang diberikan terhadap isu sosial menjadi semakin mendesak. Melihat pada hasil analisis terhadap 3000 perusahaan yang dilakukan oleh Serafeim menunjukkan ketika dunia sedang mengalami krisis ekonomi dan anjloknya harga saham karena virus corona, perusahaan yang oleh publik dianggap lebih bertanggung jawab mendapatkan dampak yang tidak terlalu buruk dibandingkan dengan pursahaan lain yang tidak memiliki citra serupa.
Walau tetap keuntungan, setidaknya mereka mulai beralih menunggangi kendaraan yang lebih bersahabat, seiring dengan bertambahnya tekanan bagi perusahaan untuk mementingkan aspek ESG di model bisnisnya.
Sayangnya, belum banyak yang berhasil mengubah dan mengintegrasikan ESG menjadi sebuah model bisnis yang menguntunkan. Apalagi melihat ESG itu sendiri sebagai sumber keuntungan. Banyak pelaku bisnis yang lalu menjadi frustrasi dan kecewa sebab hasilnya tidak membuat para investor sumringah.
Serafeim menjelaskan ini dapat terjadi karena banyak perusahaan hanya sekadar menerapkan aspek ESG melalui kegiatan formalitas yang sudah terstandardisasi tanpa menerapkan aspek kebaruan, seperti mengurangi limbah, menguatkan hubungan dengan stakeholder eksternal, meningkatkan manejemen krisis, atau menyediakan fasilitas kebersihan.
Itu saja tidak cukup. Perusahaan harus melakukan lebih dari itu. ESG harus dilihat tidak hanya sebagai sebuah faktor tambahan melainkan menjadi sebuah aspek yang terintegrasi ke dalam strategi perusahaan yang membedakan mereka dengan perusahaan lain, begitulah kata Serafeim. Hanya dengan menjadi beda, maka sebuah perusahaan dapat memiliki nilai kompetitif dari para pesaingnya yang dapat ditawarkan tidak hanya kepada konsumen namun juga konsumer.
Baca juga: Bisnis di Tengah Pandemi
Kita dapat melihat IKEA sebagai contoh. Dengan menggunakan ESG sebagai strategi, IKEA dapat mengubah dirinya sebagai respon dalam menghadapi degradasi lingkungan yang semakin cepat. Ketika banyak perusahaan lain yang lebih berfokus pada bagaimana cara mendaur ulang bahan dari barang yang sudah jadi mereka rancang, IKEA justru memperkenalkan sebuah desain produk yang sepenuhnya baru. Desain ini bertujuan untuk membuat produk yang dapat digunakan kembali, diperbaharui, didaur ulang, dan olehnya dapat memperpanjang masa kegunaannya.
Tidak hanya itu, produk desain IKEA ini juga akan mudah dibongkar dan dipasang ulang sehingga bagian-bagiannya dapat digunakan ulang sebagai material baru ketika produk awalnya sudah tak dapat difungsikan kembali.
Tentu ada banyak perusahaan lainnya seperti IKEA, yang tidak hanya menggunakan ESG layaknya komponen aksesoris namun mengitegrasikannya sebagai bisnis utama. Walau memakan waktu yang tidak sebentar bagi mereka untuk mengimplementasikan strateginya, namun mereka akan menjadi pemimpin dan pelopor dalam ekonomi sirkular yang lebih ramah terhadap lingkungan.
Seiring dengan dampak lingkungan yang semakin nyata, serta dinamika sosial yang dampaknya akan selalu ada, pemilihan strategi bisnis yang senantia merespon kebutuhan ESG menjadi hal yang bukan hanya perlu tapi dibutuhkan. Tak terkecuali dalam krisis yang diakibatkan pandemi seperti saat ini. (Ber)