10 Alasan Mengapa Banyak Yang Belum Bisa Bersekolah

0
9092

Banyak yang bilang kepada saya, berbicara soal masa depan tidak bisa lepas dari pembicaraan soal pendidikan, seolah-olah masa depan yang cerah hanya bisa diperoleh jika seseorang mendapatkan pendidikan yang baik. Jikapun benar, maka ide ini harus dibarengi dengan meratanya akses terhadap pendidikan karena saya percaya setiap orang berhak memiliki masa depan sebaik-baiknya. Namun kenyataan berkata sebaliknya, akses pendidikan masih menjadi hal yang bukan cuma, ia masih menjadi privilise yang hanya dinikmati beberapa, dan karena tidak meratanya akses, pendidikan justru bertanggung jawab atas melebarnya jurang perbedaan antara miskin dan kaya.

Baca juga: Teknologi Bukan Kuncian Tapi Pemerataan

Hari ini lebih dari 250 juta anak-anak tidak memiliki akses terhadap pendidikan. Ini diakibatkan bukan karena satu sebab, melainkan sebuah situasi kompleks yang berhubungan satu sama lain. Beberapa sebabnya mungkin tidak pernah kamu (juga saya) duga sebelumnya, ini cukup menjadi bukti bahwa terkadang kita masih melihat pendidikan sebagai hal cuma-cuma. Oh, mungkin ini waktu yang tepat untuk, bukan hanya bersyukur, tapi juga merenung, dan bekerja bakti mengatasi persoalan.

 1. Fasilitas sanitasi yang tak layak

Apa hubungan toilet dengan pendidikan? Mungkin sulit terpikirkan olehmu, tapi ada, lho! Banyak siswa yang terpaksa tidak masuk sekolah karena sakit pencernaan atau karena menstruasi. World Bank memperkirakan, 20% anak perempuan tidak masuk ke sekolah karena menstruasi. Biasanya ini disebabkan karena sekolah tidak memiliki fasilitas kamar mandi privat yang bersih.

 2. Musim panen

Khususnya di daerah yang menggantungkan pendapatannya pada hasil sawah, maka musim panen adalah waktu yang penting. Di waktu ini, ada banyak siswa yang terpaksa tidak masuk sekolah karena harus membantu memanen dan menjual hasil panennya. Ini tidak hanya sehari atau dua hari, periode ini bisa memakan waktu hingga seminggu.

 3. Pernikahan anak

Banyak anak perempuan yang harus putus sekolah karena pernikahan anak. Mereka yang seharusnya mengenyam pendidikan di bangku sekolah, karena pernikahan anak, mereka terpaksa harus mengurus kebutuhan keluarga barunya. Berdasar data PBB, sepertiga anak perempuan di negara berkembang menikah di bawah usia 18 tahun, dan sepersembilannya menikah di bawah usia 15 tahun.

 4. Konflik dan perang

Bagaimana anak-anak dapat bersekolah jika ada perang di negaranya? Sudah pasti tidak bisa. Berdasar data dari USAID, lima puluh persen dari anak yang tidak dapat ke sekolah adalah anak-anak yang hidup di negara berkonflik dan sedang berlangsung perang. Berdasar data dari UNESCO, di Suriah misalnya, dua tahun awal perang telah menghentikan seluruh progres pendidikan. Tanpa adanya pendidikan yang berkualitas, banyak pihak yang mengkhawatirkan jika anak-anak korban perang Suriah dapat menjadi generasi yang hilang.

 5. Krisis iklim

Krisis iklim dapat menyebabkan cuaca ekstrim yang dapat berubah menjadi bencana bagi banyak orang. Keadaan ini memaksa keluarga untuk meminta anaknya bekerja untuk memenuhi kehidupan sehari-hari ketimbang bersekolah pasca musibah. Belum lagi bencana krisis iklim dapat menghancurkan infrastruktur bangunan sekolah.

 6. Menjadi siswa usia remaja

Berdasarkan data dari UNICEF, siswa usia remaja, 12 hingga 15 tahun, lebih mungkin untuk putus sekolah dua kali lebih besar dibandingkan dengan siswa lain yang lebih muda. Ini dikarenakan, seiring dengan bertambahnya umur siswa, maka semakin bertambah pula tekanan bagi mereka untuk bekerja dan menyokong ekonomi keluarga.

 7. Menjadi perempuan

Salah satu halangan bawaan lahir, dan karenanya menjadi salah satu halangan paling kejam, adalah menjadi perempuan. Kita tak bisa menutup mata pada kenyataan buruk bahwa di banyak daerah, perempuan masih sering mendapatkan diskriminasi, salah satunya terhadap akses pendidikan. Dibandingkan dengan siswa laki-laki, siswa perempuan berkemungkinan lebih besar untuk putus sekolah.

 8. Kekerasan dan perundungan di sekolah

Idealnya, sekolah adalah tempat yang aman bagi siswa untuk tidak hanya menimba ilmu, namun juga untuk bersosialisasi, serta mendapatkan berbagai pengalaman sosial baru. Sayangnya, sekolah merupakan salah satu tempat di mana anak mendapatkan tindak kekerasan dan perundungan oleh teman sebayanya. Hal ini dapat mendorong siswa untuk keluar dari sekolah, dan jikapun mereka tetap sekolah, hal ini akan memengaruhi rasa percaya diri, keterampilan sosial, serta prestasi pendidikan mereka.

 9. Harga kebutuhan sekolah

Meski beberapa negara telah menyediakan sekolah gratis untuk rakyatnya, namun “harga” untuk sekolah tidaklah sepenuhnya gratis. Orangtua masih harus mengupayakan beberapa hal lain, seperti seragam, buku, peralatan tulis, hingga ongkos perjalanan ke sekolah.

 10. Pagebluk (Wabah)

Pagebluk menjadi hambatan kesepuluh yang kedatangannya tidak bisa diprediksikan. Pagebluk memaksa siswa untuk tetap di rumah untuk menekan penyebaran penyakit menular yang menjangkit sebuah area. Secara bersamaan, ini turut memengaruhi proses belajar mengajar. Bagi daerah yang sudah memiliki infrastruktur memadai, maka hal ini bukanlah kendala luar biasa sebab mereka bisa menjalankan aktivitas belajar di rumah. Namun bagi daerah yang masih kurang infrastruktur? Tentu ini adalah kendala luar biasa.

 Contoh nyatanya saat ini, pandemi Covid-19 bertanggung jawab terhadap memburuknya pendidikan dunia yang sudah buruk, dan menajamkan ketimpangan akses yang sejak dulu memang belum merata. Akibat pandemi, 160 negara memutuskan untuk mengentikan kegiatan belajar tatap muka sementara waktu, dan ini berimbas pada 1 miliar siswa di dunia.

Baca juga: Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dan Pendidikan Di Masa Sulit

Beberapa alasan di atas mengingatkan saya pada sebuah perbincangan dengan seorang teman mengenai apa yang sebenarnya menentukan masa depan seseorang, apakah kerja keras atau privilese? Pada wkatu itu kami sepakat, tidak ada jawaban hitam putih untuk pertanyaan itu. Kerja keras tetaplah berkontribusi pada kesuksesan seseorang, namun privilese juga punya andil sebagai layaknya sebuah pelumas yang memudahkan perjalanan seseorang. Ibaratnya, kedua hal ini menentukan apakah seseorang harus berjalan di atas kerikil tanpa alas kaki untuk mencapai impiannya, atau bagaikan terjun di sebuah perosotan yang sudah dialiri air. Sayangnya, jumlah orang yang harus berjalan di atas kerikil tanpa alas kaki lebih banyak ketimbang mereka yang dapat dengan mudah meluncur di atas perosotan karena bantuan gaya gravitasi ditambah dorongan mama. Jika memang seseorang sudah terlanjur harus menempuh jalan terjal berliku, setidaknya kita bisa membekali ia dengan sepatu nyaman, agar langkahnya tak lagi berdarah-darah. Jika memang ketimpangan pendidikan justru dapat memperlembar ketimpangan dalam kehidupan, maka tidak ada kata lain selain redistribusi previlise untuk pemerataan pendidikan. (Ber)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here