Tidak semua pahlawan rupanya mengenakan jubah, seperti Superman. Tidak semua pahlawan juga mempunyai senjata keren seperti milik Captain America atau Thor. Tidak semua pahlawan juga harus mempunyai kekayakaan berlimpah agar bisa membantu sesama seperti Tony Stark dan Bruce Wayne. Sebab ada satu hal yang dapat menjadikan seseorang pahlawan tanpa harus menjadi tokoh-tokoh tadi, dan hal itu adalah kepedulian!
Adalah Avan Fathurrahman, seorang guru yang namanya sempat viral di media sosial beberapa waktu yang lalu. Mungkin nama dia juga sempat mampir di linimasa salah satu media sosialmu. Kalau belum membaca ceritanya, atau bahkan kalau ini kali pertama kamu membaca namanya, jadi begini…
Avan Fathurrahman itu adalah seorang guru sekolah dasar (SD) di Madura, Jawa Timur. Ia mengajar di SD Negeri Batuputih Laok 3, Sumenep, Madura, sebuah sekolah yang lokasinya cukup terpelosok. Nama Avan mulai banyak bergulir tidak hanya di media sosial namun juga di pemberitaan situs berita daring karena status Facebook yang ia tulis beberapa waktu yang lalu.
“Ternyata saya belum jadi guru yang baik.” Itu adalah kalimat pembuka dari statusnya yang kini telah menjangkau ratusan ribu orang.
Setelah saya membaca statusnya hingga selesai, dapat disimpulkan bahwa alasan yang membuat Avan merasa demikian adalah karena ia belum bisa memenuhi imbauan pemerintah untuk tetap tinggal dan bekerja di rumah.
Baca juga: Kolaborasi Rival Teknologi
Saat ini, banyak negara atau hampir seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia sedang berperang melawan virus corona yang telah menjadi pandemi selama satu bulan lebih. Imbauan untuk tetap di rumah dan membatasi interaksi sudah digalakkan selama beberapa minggu terakhir untuk menekan penyebaran virus.
Tentu ini berpengaruh pada banyak hal, seperti bagaimana cara kita bekerja. Banyak instansi yang memerintahkan karyawannya untuk bekerja dari rumah, termasuk instansi pendidikan. Proses belajar mengajar yang semula berbentuk tatap muka di kelas kini berganti menjadi tatap layar gawai di rumah. Hampir seluruh proses pembelajaran bergantung pada koneksi internet.
Internet mungkin sudah menjadi barang primer keempat bagi saya sendiri setelah sandang, pangan, dan papan. Bagi saya internet adalah hal yang sangat penting dan jika keberadaannya tiada, saya seolah tidak bisa berfungsi dengan baik. Bagi saya internet itu kebutuhan dan bukan barang mewah (terima kasih Tuhan!) karena saya bisa menggunakannya sejak bangun tidur hingga sebelum saya tertidur kembali.
Kamu yang mungkin membaca ini dengan kuota internetmu yang tak terbatas itu mungkin juga merasakan hal yang sama, karena sudah sangat biasa menggunakannya, (bukan dalam rangka mencari pembelaan) internet pun tak terasa menjadi barang mewah, kan?
Sehingga sempat terpikirkan oleh saya ketika lembaga yang memiliki wewenang menganjurkan kita untuk bekerja atau belajar dari rumah untuk menekan penyebaran virus, hal itu menjadi sebuah solusi yang sangat masuk akal.
Namun, ketika saya mendengar kisah yang disampaikan oleh Avan melalui statusnya, saya terpaksa harus merenung dan memikirkan kembali jalan pikiran saya.
Jadi, alasan Avan tidak menaati imbauan untuk mengajar di rumah karena ia tahu betul bahwa banyak muridnya yang masih belum memiliki akses internet, bahkan gawai masih menjadi barang yang mewah untuk dimiliki mayoritas warga di sana. Dengan ketiadaan gawai juga internet, sekolah di rumah sama saja artinya dengan hari libur yang berkepanjangan bagi sebagian siswa.
Dengan alasan ini, Avan pun memutuskan untuk menyambangi rumah muridnya, satu per satu, untuk mengajar mereka, memberi mereka tugas, mengoreksi tugas mereka, hingga memberikan apresiasi ketika mereka belajar dengan baik.
Keputusan ini tentu bukan hal yang mudah, ia sempat berada dalam posisi dilematis.
“Saya harus melanggar imbauan pemerintah. Jadi jelas, saya belum menjadi guru yang baik. Tidak memberikan contoh yang baik bagi siswa karena melanggar imbauan pemerintah. Saya bukan tidak takut corona. Takut juga. Tapi gimana lagi?”
Begitu tulisnya.
Setidaknya tiga kali dalam seminggu ia harus menempuh medan yang sulit dan jauh. Namun rupanya panggilan hati untuk mengabdi lebih besar dari rasa penat dan lelah.
Baca juga: Selalu Ada Cara
Apa yang dilakukan oleh Avan, kepedulian yang ia miliki serta tanggung jawabnya untuk terus mengabdi memang patut diberi salut. Ia mengerahkan tenaga dan menepis rasa takutnya untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak muridnya.
Apa yang ia lakukan merupakan perwujudan nyata dari ungkapan “Pahlawan tanpa tanda jasa”.
Meskipun demikian, kemuliaan Avan tetap bukan berarti tanpa konsekuensi, dan bukan berarti imbauan untuk tetap di rumah hingga sekolah di rumah menjadi peraturan yang sepenuhnya salah.
Ada banyak nyawa yang ingin diselamatkan di balik imbauan untuk tetap di rumah saja, namun ada murid-murid di luar sana yang tetap membutuhkan pendidikan, seperti yang dialami murid-murid Avan.
Saat ini kita sedang menghadapi situasi luar biasa yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya. Akan selalu ada konsekuensi di setiap tindakan, dan di situasi semacam ini pertimbangan dalam mengambil tindakan menjadi berlipat ganda.
Membingungkan memang, namun kita harus tetap percaya bahwa selama masih ada sosok seperti Avan, kita tak akan pernah kehilangan harapan pada kemanusiaan. (Ber)