10 Tantangan Keberlanjutan

0
3018

Memasuki dekade ketiga di millennium ketiga, populasi dunia sudah mencapai 7,8 miliar. Padahal 20 tahun lalu, saat millennium berganti, penduduk bumi hanya sebanyak 6,14 miliar. Artinya bumi sudah semakin berat memikul beban. Tak perlu heran jika malapetaka seamacam taifun, gempa bumi, kebakaran hutan, tanah longsor, dan banjir terus semakin menjadi-jadi.

Cara termudah untuk menyikapi hal ini adalah menggunakan nama Tuhan yang marah karena perilaku buruk umatnya. Dalam kenyataan, meminjam nama Tuhan untuk menyalahkan pihak lain adalah pekerjaan yang termudah. Yang sulit adalah untuk memahami sebagai khalifah di muka bumi, setiap individu mempunyai tanggung jawab untuk menjaga bumi dan lingkungannya. Dengan cara semacam itu maka Allah akan terus melindungi kita.

ERM Group, sebuah tangki pemikir mengenai keberlanjutan (sustainability) menyebutkan ada Sepuluh Trends mengenai sustainability yang harus dipertimbangkan oleh perusahan.

Kesepuluh trends itu adalah
01. Climate Mitigation (Mitigasi iklim)
02. A Changed Climate (Iklim yang berubah)
03. Circular Solution (Solusi Sirkuler)
04. Plastics (Sampah Plastik)
05. Sustainable Consumption (Konsumsi berkelanjutan)
06. Supply Chain (Jalur pasok dan distribusi)
07. Protecting Biodiversity (Perlindungan keragaman hayati)
08. Tech for the SDGs (Teknologi penunjang pembangunan berkelanjutan)
09. Human Capital (Sumberdaya manusia)
10. Sustainable Finance (Keuangan yang berkelanjutan)

Kesepuluh trends ini jelas bukan suatu perkara yang mudah untuk diantisipasi oleh perusahaan. Masalahnya, sejumlah model bisnis yang diacu oleh perusahaan tak hanya sangat intensif dalam penggunaan sumberdaya, namun juga cenderung untuk mendorong konsumen mengonsumsi lebih banyak, dan konsekuensinya adalah timbulan sampah yang lebih banyak pula.

Berkurangnya pertimbangan dalam pembelian barang sesungguhnya ikut dipacu dengan penjualan melalui daring yang sering menawarkan harga murah, diskon yang menarik, dan kadang bebas ongkir pula. Hal ini mendorong konsumen membangun budaya memesan yang berlebihan, serta berharap pada pengiriman yang cepat dan mudah untuk dikembalikan.

Sampai disini saya teringat sahabat yang menjadi dosen di Oxford, Inggris. Sebagai ucapan terima kasih telah memperkenankan anak sulung saya tinggal di rumahnya, saya memberinya dua kemeja batik tulis. Namun ternyata ia tak bergembira menerimanya. Alasannya: baju di lemarinya sudah penuh. Tambahan dua kemeja itu mengharuskannya untuk membuang kemeja yang menurutnya masih bisa digunakan, dan ia merasa bersalah melakukan hal  seperti itu.

The Ellen MacArthur Foundation memperkirakan industri fashion global harus kehilangan US$ 100 miliar setiap tahun dari pakaian yang harus dibuang ke tempat sampah atau dibuang ke tungku pembakaran. Kondisi ini yang kemudian mendorong sejumlah merek menawarkan jasa perbaikan dan penualan kembali busana bekas mereka.

Eileen Fisher menawar pembelian kembali produknya dan menawarkan jasa perbaikan. Nudie Jeans memperbaiki 55 ribu pasang jin di tokonya pada tahun 2018, dan di 32 tokonya di seluruh dunia. Di Inggris, Ted Baker, bersama portal luxury fashion Farferch dan busana luar ruang FW, membentuk model bisnis baru yang menawarkan penjualan dan perbaikan kembali produk-produk yang telah dijual. Suatu upaya untuk mengurangi limbah dan menggencarkan program “Circular Fashion Fast Forward”.

Jumlah perusahaan busana yang menawarkan peminjaman dan penyewaan busana telah berkembang di tahun lalu dan diperkirakan akan terus meningkat di tahun ini. Saya sudah mengalaminya sendiri, saat harus menemani isteri wisuda Doktor di Universitas Brawijaya, Malang, saya lupa membawa jas. Karena diwajibkan menggunakan jas saat wisuda, anak saya  menawarkan pergi ke tempat peminjaman jas: Rp 125 ribu dengan dasi. Masalah pun selesai tanpa harus menambah tumpukan jas di lemari. Dr. M. Gunawan Alif (Chairman Indonesia CSR Society)