Puntung Bikin Buntung

0
1929

Si Untung adalah seekor burung yang sedang mencari ranting pohon kering untuk ia jadikan sarang. Kali ini ada yang berbeda dari sarang si Untung, tidak tahu pasti apakah si Untung sedang mencari suasana baru atau bahan yang tersedia memang begitu adanya, tapi warna sarang milik si Untung yang semula selalu coklat kini memiliki corak warna baru, semburat putih kadang kuning.

Si Untung menyeringai bangga, pikirnya ia akan memberikan sarang terbaik yang tak pernah ada sebelumnya bagi pasangannya dan calon anak-anaknya. Hari berlalu, sarangnya telah sempurna, tiba waktunya bagi si Untung untuk mengerami telur-telurnya. Senanglah hati si Untung ketika anak-anaknya akhirnya menetas.

Namun kebahagiaan itu terasa bagai jeda belaka, usia anak-anak si Untung tak bertahan lama, anak-anaknya mati muda, si Untung tak tahu penyebab kematian misterius anak-anaknya, yang jelas ia tak bisa melihat anak-anaknya tumbuh dewasa. Malang betul nasib si Untung.

Banyak yang iba dengan kesedihan yang dialami si Untung. Akhirnya banyak kalangan yang tergerak hatinya untuk meneliti penyebab misterius yang menyebabkan anak-anak milik si Untung mati muda. Setelah dilakukan beberapa investigasi, ditemukanlah sebuah material tak lazim di sarang milik si Untung, bentuk awalnya diperkirakan seperti tabung. Namun karena sudah terhimpit, terkena air, dan berbagai kondisi lainnya, benda itu kini sudah tak lagi berbentuk. Benda itu memiliki tekstur yang cukup empuk. Mungkin ini yang menyebabkan si Untung meletakkan banyak material ini di sarangnya.

Bubu si Anjing menyaut dengan tatapan terkejut ketika ia melihat apa yang ditemukan di sarang si Untung. Ia menjelaskan bahwa benda kecil itu pula yang menyebabkan teman-teman anjingnya mendadak kejang dan mati.

Dari balik pohon, Rere si Monyet menimpali perbincangan dan mengatakan bahwa benda itulah yang menjadi penyebab Rere harus berimigrasi dari habitat asalnya, jelasnya. Rere mengatakan bahwa benda itu yang telah membumihanguskan kampung halamannya tak tersisa.

“Awal mula aku melihat benda itu ketika aku bermain di pohon bersama saudaraku, ada beberapa manusia yang berlalu lalang sembari membawa benda itu. Benda itu mulanya tak hanya bektekstur padat tapi di salah satu ujungnya terdapat bara api, ukurannya jauh lebih panjang dari itu. Entah bagaimana caranya, manusia menghisap bagian yang kini sedang kalian amati itu lalu keluarlah asap dari mulut mereka,” jelasnya.

“Saat benda itu semakin pendek, mereka membuang saja benda itu tanpa mematikan bara api yang ada di ujungnya,” Rere mengambil jeda. “Lalu, ya begitu sesudahnya… terbakar semua hutan kami..” jelasnya semakin lirih.

Kiki si Burung Camar mendekati kerumunan lalu menghela nafas panjang saat melihat benda yang sedang dibicarakan teman-teman hewannya.

“Bangsa manusia menyebutnya dengan puntung rokok,” kata Kiki sebelum ia menimbrung percakapan.

Ia menceritakan bahwa teman-temannya yang tinggal di pesisir pantai dan di laut sudah sempat merasa sedikit lega karena ia merasa bangsa manusia telah terlihat berupaya dalam mengatasi sampah-sampah plastik yang mencemari habitatnya. Tapi harapannya kepada manusia kembali pupus ketika mereka terlihat abai dengan puntung rokok.

Kiki sangat heran mengapa manusia tidak juga mengerti dan membuka matanya lebih lebar bahwa puntung rokok kini menjadi salah satu sampah terbesar di lautan. Kiki juga bingung dan tidak paham sama sekali dengan manusia. Baginya dan teman-temannya, ini merupakan ancaman yang sangat serius namun kenapa mereka sama sekali tidak berusaha menunjukkan langkah yang nyata.

“Dan kalian tahu, satu puntung rokok saja, membutuhkan waktu kurang lebih 10 tahun untuk terurai!” kata Kiki Geram. “Mungkin bisa jadi puntung rokok ini memiliki usia yang jauh lebih panjang ketimbang kita,” tambahnya semakin geram.

Tatapan Kiki beralih pada Untung, “Untung, bersabarlah, penyebab matinya anak-anakmu adalah zat beracun yang ada di puntung rokok yang jumlah mencapai ribuan.. Lekas buang sarangmu dan jangan lagi kamu gunakan.” Kiki memberi saran.

Mendengar penjelasan dari Kiki, semua yang berada di kerumunan terdiam dan tertunduk lesu, sesekali mereka menghembuskan napas panjang.

——

Hai, bangsa manusia. Kami harap permintaan ini sampai kepada kalian. Kami tidak tahu mengapa kalian mengonsumsi rokok. Kami juga tidak terlalu peduli. Itu hak kalian. Tapi kami berharap kalian tidak lupa jika kalian tidak hidup sendirian. Apa yang kalian lakukan memberikan dampak yang besar pada kami. Kami tidak berusaha melarang kalian merokok, tapi setidaknya di hisapan terakhir, kami harap kalian mengingat kami. Dan dengan itu, kami berharap kalian tidak lagi membuang puntung rokok sembarangan. Untuk saat ini setidaknya itu saja yang bisa kami harapkan dari kalian.

Semoga kita dapat terus bisa bekerja sama dan hidup berdampingan.

Dengan penuh cinta,

Those whom you can’t live without. (Berliyan)