Seperti yang telah dibahas di kolom-kolom sebelumnya, inisiatif dan implementasi CSR tentu akan memberikan manfaat, baik bagi pemangku kepentingan maupun perusahaan itu sendiri. Namun pada akhirnya tindakan strategis yang diambil dan dilakukan perusahaan akan dinilai oleh segenap pemangku kepentingannya.
Studi doktoral Retno Artsanti (2019) di Universitas Brawijaya menemukan sikap positif terhadap perusahaan dapat terjadi jika inisiatif CSR dikomunikasikan dengan tepat dan inovatif, karena hal itu dapat membantu menciptakan pandangan positif terhadap program dan inisiatif CSR yang dilakukan oleh perusahaan. Artsanti juga menemukan bahwa kepercayaan terhadap program CSR yang dilakukan perusahaan akan menciptakan sikap positif terhadap program tersebut, yang pada akhirnya akan menciptakan sikap positif terhadap perusahaan.
Namun, apa pun yang telah diinisiasi dan dilakukan oleh perusahaan, tentu tidak mungkin bagi perusahaan untuk dapat memuaskan semua yang diinginkan oleh segenap pemangku kepentingannya. Di sini mungkin kita harus mengutip dan memahami konsep etika dalam bisnis, baik secara teleological maupun deontological.
Etika teleologi menegaskan bahwa apa yang membuat suatu inisiatif, perilaku, atau tindakan menjadi benar atau salah, ditimbang berdasarkan konsekuensi yang diakibatkan oleh tindakan atau perilaku tersebut. Jika konsekuensi dari tindakan atau inisiatif yang dilakukan perusahaan memberikan manfaat, maka tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai tindakan yang benar. Sebaliknya jika tidak memberikan manfaat, maka tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu kesalahan.
Sedangkan jika menggunakan teori etika deontologi, masalahnya bukan terletak pada konsekuensi dari tindakan tersebut, bermanfaat atau menimbulkan petaka. Dalam etika deontologi, motivasi dalam membuat suatu inisiatif atau tindakan yang akan menentukan benar atau salahnya suatu tindakan tersebut. Suatu inisiatif atau tindakan dengan motivasi yang baik akan menjadi suatu tindakan yang benar, tak peduli konsekuensi yang diakibatkannya memang diinginkan atau tidak.
Dengan memahami kedua konsep etika ini, teleologi maupun deontologi, maka suatu inisiatif CSR oleh perusahaan, hendaknya dirancang berdasarkan suatu motivasi yang tulus (sincere) dalam membantu pemangku kepentingan dan lingkungan, dengan perencanaan yang baik untuk ikut menciptakan konsekuensi yang memberikan manfaat nyata dalam memecahkan masalah sosial dan lingkungan. Hal inilah yang antara lain mengharuskan inisiatif CSR hendaknya dirancang secara strategis dan bukan dijadikan keputusan mendadak karena tekanan dari sejumlah pihak, terlebih lagi karena tekanan dari para pemburu rente.
Smith (1994) telah menuliskan pentingnya perusahaan mengganti kaca mata untuk mengubah sudut pandang dalam membuat komitmen jangka panjang terhadap sejumlah inisiatif dalam mengatasi permasalahan lingkungan. Hal-hal semacam itu tak dapat lagi dilakukan hanya semata dalam bentuk bantuan dana tunai dan anggaran filantropi, namun harus diubah ke arah pembentukan aliansi yang lebih strategis antara perusahaan dan pemangku kepentingannya.
Kasus klasik dalam literatur mengenai kegiatan CSR terlihat dari dukungan Ford Motor Company Fund untuk membantu penelitian kanker payudara. Tak kurang dari US$95 juta diberikan Ford selama empat belas tahun untuk Yayasan Susan G. Komen dalam upaya untuk mengatasi kanker payudara.
Dukungan ini sesungguhnya tidak memperlihatkan hubungan langsung antara kegiatan produksi dan pemasaran otomotif ataupun teknik transportasi. Namun hal ini ternyata ikut mempengaruhi banyak perempuan di Amerika, yang kemudian memilih untuk membeli mobil-mobil produksi Ford. Alasannya, para perempuan ini menganggap Ford telah berpihak dan berusaha untuk ikut mengatasi permasalahan mendasar mereka. Hal ini tentu sangat penting mengingat khalayak perempuan di Amerika adalah pasar yang besar, karena kecenderungan perempuan Amerika yang lebih independen dan memiliki penghasilan sendiri. Dr. M. Gunawan Alif
(Chairman Indonesia CSR Society)