Jalan Menuju Neraka, Ditaburi Niat Baik

0
9620

“Jalan menuju neraka ditaburi niat baik,” begitu kata sebuah pepatah.

Saya harus mengakui bahwa pepatah ini sekiranya sesuai untuk menggambarkan beberapa fenomena yang terjadi akhir-akhir ini.

Saya harus mengakui pula bahwa banyak bencana dan kerusakan yang terjadi belakangan ini merupakan akibat yang timbul dari niat baik terdahulu yang sudah disalahartikan atau bahkan disalahgunakan.

Apabila berkaca pada pepatah itu, mungkin saja kekacauan yang terjadi saat ini merupakan hasil dari penabur niat baik terdahulu yang selalu berlomba untuk menciptakan sebuah penemuan luhur yang akan berguna bagi kemaslahatan manusia.

Kita ambil salah satu contoh untuk memudahkan kalian yang mudengnya agak sulit. Misalnya saja penemuan kantong plastik.

Adalah Sten Gustaf Thulin, seorang ilmuwan asal Swedia yang menciptakan kantong plastik untuk menggantikan kantong kertas yang terbuat dari kayu sehingga proses produksinya sangat mengancam kelestarian alam.

Kantong plastik pada mulanya digunakan untuk pemakaian berulang-ulang. Namun karena kenyamanannya, kantong plastik kini justru digunakan untuk sekali pemakaian. Bahkan kini kantong plastik bisa disebut berganti status menjadi salah satu permasalahan lingkungan terbesar.

Contoh lain adalah, Thomas Midgley Jr. yang menemukan CFC Freon. Mulanya, CFC Freon digunakan untuk menggantikan refigeran beracun seperti amonia. Namun, penemuannya kini bertanggung jawab atas kerusakan lapisan ozon yang menyelimuti bumi.

Niat baik lain yang pada akhirnya justru berujung pada petaka adalah, penggunaan pesawat yang dibuat oleh Orville Wright. Ia memiliki mimpi besar bahwa penemuannya ini dapat mengakhiri perang. Wright memegang teguh optimismenya hingga awal 1948, sebelum ia terpaksa harus menyaksikan pesawatnya digunakan sebagai kapal untuk menjatuhkan bom atom ke Hiroshima dan Nagasaki.

Dan masih banyak lagi deretan penemuan yang berlandaskan niat baik yang justru menjadi bencana yang berkepanjangan.

Apa yang salah? Apa yang sebenarnya sudah kita lakukan sehingga niat-niat baik ini justru menjadi sumber kekacauan?

Niat baik tidak selamanya berujung pada kebaikan. Contoh-contoh di atas menggambarkan bahwa niat baik, ketika ditindaklanjuti, juga memiliki kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan atau bahkan sulit untuk sekedar dibayangkan (Sesulit membayangkan jodohmu itu lho).

Jika demikian, haruskah kita menarik diri dari cita-cita utopis yang mulianya luar biasa itu? Toh nantinya semua niatan baik itu justru akan berujung pada kekacauan dan kehancuran? Bagi saya sih tidak begitu. Melibas semua optimisme dalam niat baik dan menggantinya dengan ketidakacuhan merupakan sebuah bentuk egoisme.

Mungkin kekacauan bukan sepenuhnya kesalahan niat baik. Bagaimana niat baik kemudian dilaksanakan lah yang menjadi penentu apakah niat baik akan berakhir nestapa atau sebaliknya.

Atau mungkinkah, yang dimaksud neraka dalam pepatah itu adalah manusianya dan segala sifat jahatnya? Manusia dengan sifat angkuhnya, manusia dengan sifat serakahnya, dan manusia dengan sifat tidak pernah puasnya.

Sifat-sifat yang kemudian menghambat kita untuk menjaga niat baik berada pada jalannya.

“Neraka memang penuh dengan arti mulia, tapi surga penuh dengan perbuatan baik.”

Jadi, mau diapakan niat baik kita? Kita awetkan sebagai sebatas niat baik? Kita salah gunakan? Atau kita laksanakan sesuai dengan tujuan awalnya? Ya itu sih terserah kalian lah. (Berliyan)